Pemilu 2024, Kawin Paksa Parpol Guna Penuhi Presdensial Tershold 20%

Rahmat Hajir Nugrogo, S.H., M.H.

Yogya 18/01/2023, Pemilu 2024 penuh kontroversi mulai dari sistem pemilu serentak, sampai regulasi pemilihan presiden yang menetapkan ambang batas 20% untuk penuhi Presiden Treshold menurut ahli hukum tata negara FH UAD Rahmat Muhajir Nugoroho, S.H., M.H dalam acara Poadcast OTT (obrolan tipis-tipis) yang dipandu oleh Mufti sebagai host.

Penetapan 20% Presidensial Treshold menjadi penghalang bagi parpol untuk segera mendeklarasikan capres dan cawapres dan iniliah akar ruwetnya sistem pimilu. Hal ini bagian yang tidak demokratis dari sistem demokrasi yang akan dijalankan.

Koalisi alami berbasis pada visi misi, ideologis  tidak akan terjadi karena terhalang oleh ambang batas tersebut sehingga yang ada adalah koalisi kawin paksa.

Baca juga :

Rahmat yang juga mantan komisioner KPU Kota Jogja menentang adanya ambang batas 20% bahkan lebih setuju dan sepakat untuk no persen (0%) sehingga setiap parpol bisa mencari calon putra terbaik untuk menjadi capres dan cawapres mendatang. Yudicial review bahkan sudah diajukan lebih dari 30 kali oleh berbagai elemen masyarakat bahkan oleh partai politik dan DPD RI tapi tetap mental untuk merubah agar nol persen.

Ada persolan ke dua yaitu mengenai money politic yang semakin menghebat dengan adanya sistem proporsional pada pemilihan anggota DPR, DPRD I dan DPRD II. Sistem ini membuka peluang untuk jor-joran money politic karena calon yang terbanyak mendapat suara yang akan menjadi anggota Dewan.

Pemilu mendatang kertas suara tidak ada lagi  gambar calon yang ada hanya nama saja, dan  ini juga persoalan tersendiri bagi calon anggota legislatif.  Dimana dalam kampanye  mengenlkan dirinya dengan poster  wajah untuk bisa dikenali oleh calon pemilih. Akan tetapi pas pemilihan tidak ada foto calon sehingga calon akan kesulitan untuk bisa dipilih.

Persoalan berikutnya tentang nama calon yaitu dimana sehari-hari atau panggilan bukan nama sebenarnya seperti yang tertera dalam kertas suara maka hal ini akan menuntut calon harus bekerja keras untuk mengenalkan nama sesuai kertas suara. Apalagi kalau ia ada diurutan tengah-tengah menurut Rahmat yang juga mantan dekan FH UAD akan lebih sulit untuk terpilih.

Usulan terbaik untuk meminimalisir money politic maka pilihan menggunakan porporsional tertutup dimana pemilih hanya memilih partai politik tidak memilih orang. Nama calon-calon dari partai dikenalkan secara terbuka dipasang di depan Tempat Pemungutan Suarat (TPS) agar tak seperti memilih kucing dalam karung ujar Rahmat (Skretaris Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah). Senada dengan nara sumber ternyata Muhammadiyah juga mengusulkan sistem pemilu dengan menggunakan proporsional tertutup.

Persoalan ke tiga yaitu pelaksanaan pemilu serentak yaitu dimanaa dalam satu waktu pemilih harus memilih 5 kertas suara yaitu suara untuak Presiden/wakil presiden, DPD, DPR, DPRD I, dan DPRD II. Hal ini akan mengakibatkan kelelahan pada petugas Tempat Pemungutan Suara dalam penghitungan, sebab  bisa sampai pagi proses penghitungannya.

Saksi-saksi juga tidak optimal sebagai saksi karena sangkin lelahnya dalam proses penghitungan. Kemudian kira-kira di akhir tahun bulan november ada lagi pemilu untuk memilih kepala daerah tingkat II dan I. Menurut  Rahmat harus ada kelegowoan partai politik dan pemerintah untuk mengevaluasi sistem secara menyeluruh baik penyelenggaraan maupun sistemnya.

Di akhir perbincangan saat ditanya berkenaan dengan adanya isu penundaan pemilu jawab narasumber menyatakan ketidak setujuannya untuk penundaan pemilu karena nanti presiden dan anggota dewan menjadi legitimit kalau alasan penundaan tidak sesuai dengan Undang-undang.uk